Widianti Widjaja adalah pewaris dari Rumah Batik Oey Soe Tjoen, termasuk usaha, merk, tradisi, dan teknik batik Oey Soe Tjoen, yang dikenal sebagai batik legendaris karena kehalusan batiknya. Widianti Widjaja dilahirkan tahun 1976, bersekolah di SD-SMP Pius dan SMA Negeri 1 Pekalongan. Widianti Widjaja merantau ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah di Universitas Atmajaya jurusan akuntansi dan lulus pada awal tahun 1999.
Sebelum menjadi generasi tiga dari Oey Soe Tjoen, banyak cita-cita yang ingin digapai oleh Widianti. Diantaranya adalah untuk melanjutkan studinya ke jenjang S2, hingga bekerja di ibu kota Jakarta. Namun, karena tuntutan dari sang Ayah, Widianti harus merelakan cita-cita tersebut, dan melanjutkan usaha Batik yang diwariskan keluarganya.
Tidak lama sesudah Muljadi Widjaja meninggal, Widianti Widjaja mulai menyadari bahwa dirinya tidak memiliki pengetahuan atau keahlian di bidang batik. Widianti Widjaja tidak bisa mendesain, mewarnai, bahkan tidak mengerti cara memegang canting dengan benar, begitu pula dengan pengetahuan dan pengalaman di dunia seni. Dulu, Muljadi Widjaja tidak mengizinkan Widianti Widjaja sekolah mode di Esmod Jakarta dengan alasan kehidupan seorang seniman tidak memiliki kemapanan finansial.
Awal mula Widianti membatik hanya berbekal pengalamannya yang singkat dalam membantu Ayahnya. Widianti sempat membantu Ayahnya dalammelakukan proses pewarnaan dan turut menunggu proses penjemuran batik di bawah sinar matahari langsung, diberi contoh cara memegang tongkat untuk nglorod , dan memegang pisau untuk ngerok batik. Namun, Widianti Widjaja menjalani semua itu untuk mengisi waktu luang saja. Dirinya tidak pernah menyangka bahwa itu adalah pembelajaran terakhir sang Ayah, dan hanya itu yang sempat diajarkan padanya.
Apalagi sesudah mengalami berbagai kegagalan membuat batik dengan benar dan sesuai standar dua generasi yang mendahuluinya. Beberapa bulan menghentikan usaha keluarga ini, beberapa karyawan datang meminta Widianti membuka kembali usaha batik Oey Soe Tjoen. Permintaan ini sempat membuat Widianti bimbang. Ternyata keputusan Widianti memengaruhi kehidupan banyak keluarga.
Akhirnya, Widianti Widjaja memutuskan untuk melanjutkan Rumah Batik Oey Soe Tjoen dengan syarat Mama (Istri Muljadi Widjaja) memberikan otoritas dan kepercayaan penuh pada Widianti untuk berkreasi sesuai dengan keinginannya (meskipun itu berarti harus Keluar dari "Pakem"). Menurut Widianti Widjaja, jalan sebuah kapal akan sulit jika dipimpin oleh dua nakhoda. Mama memberi wejangan yang membesarkan hati Widianti:
"Lebih baik kita berhenti di titik tertinggi daripada memutuskan berhenti pada titik terendah". Saat Widianti Widjaja memutuskan untuk meneruskan Rumah Batik Oey Soe Tjoen. Keteguhan hati Widianti dalam merawat warisan ini telah mengantar Rumah Batik Oey Soe Tjoen mencapai genap 100 tahun. Tantangannya berikutnya adalah: "Siapa Yang Akan Meneruskan?", Apakah Warisan keluarga ini akan terus ada hingga 100 tahun berikutnya?
Jakarta, Indonesia — Di balik keindahan setiap helai batik tulis Oey Soe Tjoen, ternyata ada peran penting para perempuan. Rens Heringa, pakar tekstil asal Belanda, pernah menekankan bahwa banyak inovasi dalam dunia batik justru lahir dari tangan-tangan perempuan pembatik. Baginya, batik adalah female-coded artform—seni yang dibentuk, digerakkan, dan diwariskan oleh perempuan.
Pandangan ini tercermin dalam sejarah batik Oey Soe Tjoen. Kwee Nettie (generasi pertama) dan Lie Tjien Nio (generasi kedua) memainkan peran krusial dalam pemilihan desain dan pengawasan mutu pencantingan demi menjamin kualitas. Generasi berikutnya, Oey Kiem Lian, melanjutkan tongkat estafet dengan merangkap berbagai peran—baik sebagai pemilik usaha, seniman, maupun pelaku produksi—menjejakkan posisi perempuan sebagai penjaga utama warisan batik keluarga.
Tetapi, bagi Oey Kiem Lian melanjutkan usaha batik bukan sekadar menjaga tradisi, tetapi juga menggali dan mengekspresikan jati diri. Sebagai perempuan peranakan Tionghoa yang tumbuh di Tanah Jawa dan dibesarkan dalam iman Katolik, ia menyuarakan identitasnya melalui karya. Hal ini dituangkan dalam tiga helai kain batik yang ia dedikasikan untuk tiga figur perempuan simbolik: Dewi Kwan Im, Kanjeng Ratu Kidul, dan Bunda Maria.
Di tangan Oey Kiem Lian, batik Oey Soe Tjoen kini menjadi lebih dari sekadar warisan—batik juga menjadi bentuk ekspresi diri dan sarana untuk menjalin hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan melalui bahasa visual.
Pilih "Generasi" Yang Ingin Dibaca.
Choose which "generation" to read.